1.1
Pajak Internasional
Definisi
Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini
belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian
Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri
untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian
sebelumnya.
“Pajak Internasional
adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan
dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).”
Dengan
demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau
orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua
negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau
penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua)
dimensi luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari
luar negri, dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari
dalam negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau
transaksi (ke) luar batas negara (outward,
outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke
manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan
domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi
modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri
dilakukan oleh negara domisili (residence
country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara
sumber (source country)
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap
kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai
yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di
masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan
beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda
internasional.
Prinsip-prinsip yang harus dipahami
dalam pemajakan internasional
Doernberg
(1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan
pemajakan internasional:
1.
Capital
Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi,
beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di
luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua
negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar
negeri.
2.
Capital
Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi
berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri
atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di
suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak
Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah
Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang
melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3.
National
Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh
dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
1.2
Pemajakan Transaksi Lintas Negara
Pemajakan
berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena adanya
prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle)
dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh
negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan
teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara
sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut
dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan
pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya:
PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh
fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan
dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran
klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara
sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya
yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja
di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke
rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura
sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya
pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan
pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian perpajakan
dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source country) yang
merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua
adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak
bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan
perpajakan.
Baik negara
sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak
berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi
perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan
pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara
negara sumber dan negara domisili.
1.3
Konsep Juridical Versus
Economic Double Taxation
Dalam
komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara pajak berganda
yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic
double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang
sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu
negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang
berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau
identik).
Atas
perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi
legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan
konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan
usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang
saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda
karena mereka merupakan dua subjek hokum yang berbeda. Namun demikian, secara
ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka
merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi
apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau
kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries),
dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam
komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang PBI
yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan
(atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh
lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara
yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun
objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa
pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek
legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak lain, PBI ekonomis
meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda,
namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang
terdapat hubungan (economic identity of subject).
1.4
Hukum Pajak
internasional
Ottmar
buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum pajak
internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit
adalah (Agus Setiawan, 2006):
“Kaedah-kaedah norma
hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum
internasional),”
Sedangkan hukum
pajak dalam arti luas ialah:
“Kaedah-kaedah hukum
antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum
perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”
Teicher
memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas
termasuk sebagai berikut:
a.
Hukum
Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum
yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain
perjanjian internasional;
c.
Bagian
dari hukum antar bangsa, yaitu :
i.
Peraturan
hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa
yang diakui secara umum;
ii.
Keputusan
Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan;
iii.
Apa
yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional
(tertentu) seperti supranationales steuerrecht.
Menurut
Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak Nasional
dari semua negara yang ada di Dunia.”
Menurut PJA Adriani,
“Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata
tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-masing
negara.”
Pengertian
Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari
pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum
Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum
yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai
:
a.
Pengenaan
pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b.
Peraturan-peraturan
nasional untuk menghindari pajak ganda;
c.
Traktat-traktat.
Menurut
Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1.
Hukum
Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
2.
Hukum
Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
3.
Hukum
Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law).
National External Tax Law
National
External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai
di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai
obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di
Luar Negeri).
Foreign Tax Law
Foreign
Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari
negara-negara yang ada di seluruh dunia.
Internasional Tax Law
Internasional
Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak Internasional
dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan
prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara
di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling
mempunyai kepentingan.
Sedangkan
Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang
diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-kaedah nasional yang
mempunyai sebagai obyeknya pangenaan pajak dalam mana dapat ditunjukan adanya
unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua
negara atau lebih.
Dari
beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
i.
Hukum
Pajak Internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang lingkup,
kewenangan, dan kedudukannya;
ii.
Hukum
ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan
negara domisili;
iii.
Hukum
Pajak Nasional adalah merupakan bagian dari Hukum Pajak Internasional yang
digunakan;
iv.
Hukum
Pajak Internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di berbagai
negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada Hukum Pajak Nasional;
v.
Hukum Pajak Internasional dalalam arti sempit
adalah Hukum Pajak Internasional yang mengatur kedua negara yang saling
berkepentingan, sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah
Hukum Pajak Internasional yang berlaku bagi seluruh negara.
1.5
Sumber-sumber Hukum
Pajak Intenasional
Sumber-sumber
Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut
antara lain :
A.
Kaedah Hukum Pajak
Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a. Peraturan
Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;
b.
Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan
Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
d. Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan
Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh)
tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana
Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
g. Peraturan
Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek
Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
B.
Kaedah-kaedah yang
berasal dari traktat:
a.
Perjanjian
bilateral;
b.
Perjanjanjian
ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
c.
Perjanjian
multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi
Wina.
C. Keputusan
Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Hal ini dapat
diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang
perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang
memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan
Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak
Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan
negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis)
yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan
kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan
pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan
ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas
dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan
1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut
Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian
bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya
unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan
Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan
ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana
tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng
ini.
Apabila
negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara
kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi
tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia
internasional dan berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara
keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan
konvensi tersebut.
1.6
Prinsip
Non-Diskriminasi
Ketentuan
non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang perpajakan
bagi warganegara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di
negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara
dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu
dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).
Ketentuan
non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang
adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan
penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki
atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara
yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty
partner lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun
pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk
dari negara yang disebutkan pertama di
atas.
1.7
Pengertian
Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion
Sebagai
perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun
perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara
memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak
negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
1.
Penghindaran
pajak yang diperkenankan (acceptable
tax avoidance).
2.
Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu
negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema
apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu
skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai
penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering
dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan
adalah aggressive tax planning
dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam
buku-buku perpajakan, istilah tax
avoidance biasanya diartikan “sebagai suatu skema transaksi yang
ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan (loophole)
ketentuan perpajakan suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak
menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal)
karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus
Slamet menyatakan bahwa tax avoidance
umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak
berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau
berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of
parliament).
Tax
planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan
otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu
skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan
perpajakan (illegal) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan
cara fiktif.”
Berkaitan
dengan tax avoidance,
pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang
tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan
bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada
dapat dibenarkan?
Dalam
konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh
PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat
menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang
terdiri atas:
a.
Memindahkan
subjek pajak (transfer of tax subject)
ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus
(keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b.
Memindahkan
objek pajak (transfer of tax subject)
ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus
(keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c.
Memindahkan
subjek pajak dan objek pajak (transfer
of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven atau negara
yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis
penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan
cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara
memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang
paling rendah.
1.8
Ketentuan
tentang Anti Avoidance
Dalam
menghadapi skema-skema unacceptable
tax avoidance atau aggressive
tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan
ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1.
Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan
anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
2.
General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan
anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan
oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau
transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu
ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable
tax avoidance atau aggressive
tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh
Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive
tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada
dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di
negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan
sebagai aggressive tax planning
oleh Australian Taxation Office
(ATO) adalah sebagai berikut:
1.
Transaksi
yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain
transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya
tetapi sangat tidak signifikan.
2.
Berusaha
untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak
ditujukan kepadanya.
3.
Membuat
transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali
lagi kepadanya (round-robin flow of
funds).
4.
Penggelelembungan
nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan
datang.
5.
Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana
penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai
objek pajak.
6.
Transaksi
bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada
definisi yang jelas mengenai tax
plannning, agresive tax planning, acceptable
tax avoidance dan unacceptable
tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan
penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan
aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang
menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dari
sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan
untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain,
pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan
perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu,
untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan
tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa
Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)
harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait
dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.
1.9
Pengertian Pajak Ganda Internasional
Knechtle (1979) membedakan pengertian pajak berganda dalam dua pengertian,
yaitu pajak ganda dalam arti luas (wider
sense) dan pajak ganda dalam arti sempit. (narrower sense). Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi
setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang
dapat berganda (double taxation)
atau lebih (multiple taxation) atas
suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam arti sempit, pajak
berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap
suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu admisitrasi pajak yang sama.
Pengertian tersebut mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah
dan bagian administrasinya yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh
penguasa tunggal (singular power)
atau oleh berbagai (lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh admisitrator tunggal,
misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangungan atas nilai jualnya
(Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas sewa atau
keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak berganda
ekonomis (economic double taxation).
Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat terjadi secara vertical
(pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah), atau
diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengna provinsi A, atau provinsi B)
Sementara itu, hubungan ekonomi internasional yang semula hanya diwarnai
dengan pertukaran barang, migrasi sumber daya manusia, transaksi jasa lintas
perbatasan, kini telah semakin luas ruang geraknya dengan ditandai semakin
meningkatnya arus modal dan pembiayaan antar negara serta semakin berperannya
sektor informasi, dan semua itu berjalan tidak sendiri-sendiri, melainkan
saling kait mengait. Lalu lintas barang dan pertukaran sumber daya
internasional, jasa dan modal serta informasi mempunyai sifat ketergantungan
satu dengan yang lain.
1.10
Penyebab Pajak Berganda Internasional
Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang
menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak
ganda internasional (international
double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut
dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan
internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan.
Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud
pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya
dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi
pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah
daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing
negara (overlapping of tax
jurisdiction in the international sphere).
Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai
terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan
melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian
fiskal (fiscal allegiance)
dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan
ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara
pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak
terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah
kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan
hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat
sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak
berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang
dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar
masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.
Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara
pengekspor menganut prinsip negara asal (origin
principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain,
negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle; Pemajakan oleh negara tujuan atau negara
konsumen).
PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di
awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara
mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara
tidak bersamaan.
1.11
Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda
Internasional
Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk
mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau
objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi pemajakan (tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam
bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle,
1979). Sehubungan dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut empat
teori jusitifikasi legal hak pemajakan suatu negara:
a.
realistis atau empiris,
b.
etis atau retributive,
c.
kontraktual, dan
d.
soveranitas.
Teori soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu bentuk pelaksanaan
dari yurisdiksi dan yurisdiksi merupakan atribut (kelengkapan) dari
soveranitas. Sumber dari hak pemajakan (right
to tax) suatu negara berasal dari soveranitas
(kedaulatan) negara tersebut. Sebagai kebutuhan histories (akan adanya
suatu negara), hak dan kewajiban utama suatu negara adalah untuk mengamankan
dan melestarikan keberadaannya. Untuk keperluan itu, negara mempunyai hak untuk
meminta sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa saja yang berada di bawah
kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori retributive yang menekankan kepada
manfaat ekonomis (economic allegiance)
yang telah dinikmati seseorang sebagai justifikasi pemajakan, dengan
mendasarkan pada asumsi bahwa keberadaan negara adalah masalah esensial
politis, teori soveranitas cenderung memberikan justifikasi pemajakan berdasarkan
keterkaitan politis (political
allegiance) seseorang terhadap suatu negara.
Dari neksus perpajakan (keterkaitannya dengan pemajakan asas penghasilan), kebanyakan
orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga prinsip:
1. kewarganegaraan,
2. domisili (dan residensi), serta
3. sumber penghasilan (termasuk kekayaan).
Sebagaimana sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan
ketentuan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya
berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif (personal), dan (b)
objektif. Pertalian subjektif memperhatikan status wajib pajak (tempat
tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang pribadi;
tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan). Pertalian objektif
mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan. Surrey (1987) dan
Tilinghast (1984) serta the American Law Institute (1987) menyatakan bahwa
yurisdiksi yang mendasarkan pada pertalian subjektif disebut yurisdiksi
domisili atau azas domisili (domicilary
jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk pada sumber penghasilan
disebut yurisdiksi/azas sumber (source
jurisdiction).
a. Azas Domisili
Pasal 2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang
yurisdiksi domisili terhadap orang pribadi dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1),
nampak jelas bahwa yang tersurat sebagai subjek pajak adalah termasuk warisan
yang belum terbagi dan bentuk usaha tetap (dalam model perjanjian perpajkan
disebut .permanent establishment.). Namun karena warisan yang belum terbagi
pada hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang pribadi ahli
waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk usaha tetap (BUT)
sebagai kriteria ambang batas pemajakan penghasilan usaha (dan kegiatan) dari
perusahaan luar negeri yang dapat merujuk kepada orang pribadi dan badan, maka
pada dasarnya subjek pajak yang sebenarnya adalah tetap orang pribadi dan
badan.
1.
Orang Pribadi
Indonesia mempunyai yurisdiksi domisili atas orang
pribadi dengan status wajib pajak dalam negeri (istilah .dalam negeri. adalah
setara dengan .residen/penduduk yang dipakai oleh kebanyakan negara lain).
Pasal 2 (3) (a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah seseorang merupakan
wajib pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:
a.
tempat tinggal (domisili,
b.
keberadaan/kehadiran (presensi), dan
c.
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kriteria domisili untuk menentukan status WPDN
merupakan tambahan oleh UU No. 10 tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat
(dalam UU No 7 tahun 1983) dan sekaligus memperluas yuridiksi domisili
pemajakan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2(6), apakah seseorang bertempat
tinggal di Indonesia ditentuka menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang
sebenarnya tersebut, misalnya, dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau
substansial (keberadaan keluarga, tempat tinggal, alamat tetap, atau
kepentingan ekonomis dan sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di
Indonesia (selama lebih dari 183 hari) madih sapat dianggap bertempat tinggal
di Indonesia apabila keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan ha tersebut dan
oleh karenanya termasuk WPDN.
Apabila criteria domisili dapat bersifat subjektif
formal, criteria keberadaan kehadiran merupakan criteria yang bersifat obejktif
kuantitatif. Namun kedua criteria tersebut dibangun berdasar kterkaitan
ekonomis (economic allegiance) seseorang terhadap negara pemungut pajak, sedangkan
pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di bangun berdasar keterkaitan politis (political allegiance).
2.
Badan
Pasal 2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu
yurisdiksi domisili Indonesia atas badan yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b)
tempat kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di
Indonesia merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986) suatu
badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status hukum (kewarganegaraan
atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum siapa badan tersebut didirikan (.incorporated.).
Setiap badan yang didirikan di Indonesia dianggap bernasonalitas Indonesia.
Dengan demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian
(fiskal) nasionalitas. Akibatnya, semua badan yang didirikan di (berdasarkan
hokum) Indonesia, tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya
(di mana pun berada), merupakan WPDN Indonesia.
Namun dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan,
seperti penaftaran, asesmen, penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut
sama sekali tidak mempunyai perwakilan atau orang di Indonesia perlu dicari
upaya yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari ketentuan tersebut.
b. Azas Sumber
Pasal 2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source jurisdiction.) yang berlaku
di Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima secara global (misalnya,
Surrey (1987) dan Van Raad (1986)) yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan pada
dua unsure: (a) menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan (b)
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersimber di negara tersebut.
UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah
menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan
BUT. Apabila aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana
diatur dalam pasal 2(5), Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari
kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan atas usaha yang dijalankan
oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas ekonomi ini dapat berupa;
(a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan (profesi atau
pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua
konsep, yaitu permanent establishment (untuk
usaha) dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua
konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik untuk
usaha
maupun pekerjaan bebas profesi).
Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan
pada suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan
milik bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Implikasi
dari yurisdiksi sumber ialah bahwa Indonesia secara sah dapat memungut pajak
dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.
1.12
Pengertian Dan Tujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B)
Sehubungan
dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang
berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan
pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu
:
a. Secara Luas, Pajak berganda adalah
bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat
berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
b.
Secara
Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa
kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak
yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya,
pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya, dapat
dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1.
Internal
(domestic)
2.
Internasional
Dalam kedua
kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan diagonal
(terutama dalam Negara yang berbentuk federal). Definisi
lain Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua negara
bilateral yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh
atau diterima oleh penduduk oleh salah satu atau kedua negara pihak pada
persetujuan (Both Constacting State). Atau perjanjian perpajakan antara dua
negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai
usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara
untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara
mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan
klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis
transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax
treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian
dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax
treaty menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian
yang diakui secara internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang
sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model
PBB.
Memahami
treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai
dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami
suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang
digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang
dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat
mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan
prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih
mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai
suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara
dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya
selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan
suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat
(article atau artikel) yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan
cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda,
bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal
lainnya.
Semua bagian
itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah dan
pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi,
istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap
pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Disamping tujuan utama seperti
disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a. Menghindari pemajakan ganda yang
memberatkan iklim dunia usaha;
Dengan P3B maka penganaan pajak atas
laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat (negara sumber dan negara
domisili). Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan.
Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum,
karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
b. Meningkatkan investasi modal dari
luar negeri;
Pemajakan atas investasi berupa
bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti dari pemilik hak
cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat dipastikan pendudukan
atau warga negara asing akan mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya, karena
hasil dari investasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c. Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan adanya pembebasan pajak atas
mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan
dan pelatihan, maka dapat meningkatkan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan
ke luar negeri, dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM negara pengirim peserta
pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa dan karyawan
yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani mereka sehingga
mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak kurang baik terhadap
pengembangan SDM.
d. Pertukaran informasi guna mencegah
pengelakan pajak;
Dengan membangun jaringan komunikasi
yang baik diantara kedua negara, maka informasi tentang penduduk yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya di kedua negara tersebut akan dapat terdeteksi
(untuk mengintensifkan penerimaan pajak). Negara yang terkait dengan Tax Treaty
dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya saja
dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber, informasi
penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara
domisili, dan diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak.
e. Keadilan dalam hal pemajakan
penduduk antar kedua negara.
P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua
negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk
asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadaka tax
treaty terikat dengan ketentuan dalam perjanjiannya sehingga tidak boleh
sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
1.13 Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
1. Dampak Pajak Berganda
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya
(kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat).
Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari
dua negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara,
perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko dibanding
dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko
tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak
berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan
menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa
sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar
kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional.
Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas
PBI.
2. Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Secara tradisional terdapat beberapa metode
penghindaran PBI, seperti (1) pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit),
dan (3) metode lainnya. Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau
keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan
dibahas dibawah ini.
Pembebasan/pengecualian
Metode pembebasan (exemption)/pengecualian
(exclusion) berupaya untuk
sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara pemegang
yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak
pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara
sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3)
pajak.
Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan
terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para
duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum
internasional mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh
negara pengirimnya saja (sending state).
Ketentuan pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir)
semua negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas.
(tet) Pembebasan objek (object, income
exemption), yang lebih dikenal dengan full exemption atau exemption
without progression, diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar
negeri dari basis pemajakan WPDN negara tersebut. Exemption without progression (eksemsi tanpa progresi) maksudnya
adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan
pajak dengan mengeluarkannya (mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis
pajak) sehingga tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi
(progresivitas) tarif pengenaan pajak negara domisili.
Pilihan ketiga dari metode
pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax
exemption) atau dikenal dengan exemption
with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya penghasilan luar
negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan
pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap
pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara residen memperlakukan
tarif sepadan (prporsional atau flat),
maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif
atau menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi),
karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak
atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara
metode pembebasan penghasilan (object
exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).
Pengaruh progresi akan
efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti Indonesia.
Kredit Pajak
Metode kredit pajak terdiri
dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh (full tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit mothode)
dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau
sparing credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan dengan investasi pada
anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung dan
kredit tidak langsung.
Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan
pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak
domestik yang dialokasikan atas penghasilan tersebut.
Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit)
memberikan keringanan pajak berganda internasional yang berupa pengurangan
pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar
negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak domestik yang
dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2) pajak
yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan faktual) atas
penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.
Dalam metode kredit biasa,
apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit
pajak dapat dihitung secara bergabung (oveall)
atau tiap negara (per country limitation).
Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib pajak dengan diperbolehkannya
kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif tinggi dengan
tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat dikreditkan). Disamping
itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang berupa dividen, selain
kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit) dapat pula diberikan kredit atas pajak dari
laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen tersebut (indirect tax credit).
Metode Lainnya
Sehubungan dengan metode
pemberian keringanan pajak berganda internasional, selain metode eksemsi dan
kredit, dalam buku International
Juridicial Double Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa
metode sebagai berikut:
1. Pembagian pajak (tax sharing)antara
negara domisili dan sumber,
2. Pembagian hak pemajakan (division
of taxing power) dengan penentuan tarif pajak maksimum atas penghasilan
yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber,
3. Keringanan tarif (reduction of the
rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus diberikan oleh negara
dimisili,
4. Pengurangan pajak (rudction of the
tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari penghasilan luar
negeri, dan
5. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum
atau forfait taxation). Sementara itu, beberapa metode keringanan PBI
yang dihubungkan dengan penghasilan termasuk;
·
Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi)
penghasilan sesuai dengan kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara
sumber dan domisili,
·
Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena
pajak (deduction method) dan
·
Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu
jumlah tertentu (atau seluruhnya).
1.14 Praktik Penghindaran Pajak Berganda Internasional.
Untuk menghndari atau mengurangi dampak PBI, di dunia internasional dikenal
tiga cara yang sering dilaksanakan, yaitu (1) mengikuti konvensi/traktat
internasional), (2) mengadopsi kesepakatan internasional dalam undang-undang
pajak domestik, dan (3) antar negara mengadakan perjanjian perpajakan (tax treaty).
Konvensi
Hasil-hasil konvensi yang pernah ada dan dilaksanakan
oleh Indoensia antara lain :
a.
Bidang pajak Penghasilan, meliputi :
1. Azas reprositas (tet) atau azas timbal balik, yakni apabila negara lain
tidak mengenakan pajak penghasilan untuk pejabat perwakilan negara Indonesia
(Duta Besar atau konsulat), maka pejabat pewakilan negara tersebut di Indonesia
pun tidak dikenakan pajak penghasilan.
2. Kegiatan usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan yang dikirimkan
ke induk perusahannya di luar negeri, dikecualikan sebagai objek pajak.
3. Penghasilan perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal
dari luar negeri ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
b. Bidang Pajak Pertambah pabean Nilai
1. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah
pabean dikenakan PPN apabila dipakai dalam daerah Pabean.
2. Penyerahan jasa kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan
PPN apabila dimanfaatklan di dalam daerah pabean.
Mengadopsi Kesepakatan-kesepakatan Internasional Ke
Dalam Undang-Undang Pajak Domestik.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat (sovereign country) ikut serta
menghindari/mengurangi terjadinya PBI dengan mengadopsi kesepakatan-kesepakatan
internasional dalam undang-undang pajak nasional. Pengadopsian
kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut dimaksudkan pula untuk
memberikan kepastian hukum. Rincian pasal-pasal yang mencerminkan adanya adopsi
kesepakan internasional dalam undang-undang pajak domestik sebagai berikut:
a.
Bidang Pajak Penghasilan (Undang-undang Pajak
Penghasilan)
1) Pasal 2 ayat (4) : Subjek Pajak luar Negeri
2) Pasal 2 ayat (5) : Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3) Pasal 3 : Pengecualian Subjek Pajak
4) Pasal 5 : Objek Pajak BUT
5) Pasal 21 ayat (2) : Pengecualian Sebagai Pemotong Pajak
6) Pasal 24 : Pengkreditan Terbatas (Ordinary Tax Credit)
7) Pasal 26 ayat (1), (2) : Pemotongan Pajak Atas Penghasilan yang Diterima
WPLN
8) Pasal 32A : Pemerintah berwenang mengadakan perjanjian dengan negara lain.
b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai_
1) Pasal 4 huruf e : Pemanfaatan barang kena pakak tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
2) Pasal 4 huruf g : Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Mengadakan Perjanjian
Perpajakan (Tax Treaty).
Antar negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treeaty) yang disebut Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi penduduk suatu negara supaya tidak
menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak (dalam negeri dan
luar negeri). Dalam hal telah ada perjanjian peerpajakan, maka pemungutan pajak
berdasarkan perjanjian perpajakan (kedudukan perpjanjian perpajakan lebih
tinggi dari undang-undang pajak nasional suatu negara). Indonesia sampai saat
ini telah mengadakan perjanjian perpajakan dengan lebih dari 70 negara,
sedangkan yang masih berlaku sebanyak 57 negara sahabat.
1.15 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang
melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda
internasional, baik yuridis maupun ekonomis.
Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat
beban usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat
menghambat mobilitas sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang
investasi, perdagangan, produksi dan distribusi, sains dan teknnologi dimana
terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional maupun global, dalam
sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI tersebut juga terdapat
jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup perjanjian penghindaran
pajak berganda (.tax treaty;
P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan perjanjian bilateral (namun dalam
kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup oleh dua negara dengan tujuan
utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang disebabkan oleh implementasi
hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek (subjek)
yang sama.
Sampai saat ini Indonesia telah menutup P3B dengan lebih dari 70 negara
mitra runding. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan (wealth tax), semua P3B dimaksud berkaitan
dengan pajak penghasilan saja. Sebagai salah satu instrumen yang tunduk pada
hukum internasional, P3B yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu
ketentuan domesti (UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek.
a.
Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan
mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai
perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking
treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati
(pemerintah) negaranegara (contracting
states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle;
1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar
amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan
persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang
No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa
Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih,
atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus
untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991)
menyatakan bahwa P3B merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya
tunduk pada The Viena Convention on
The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun
terdapat communis opini doctorum (pendapat
yang berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya
kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law;
Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara
yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum nasional yang
mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24
Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian
internasional antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan
bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus
untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24
Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden
yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena
lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka
ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran
nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai
berlaku di kedua negara mitra runding tersebut.
b.
Model, Sifat, dan Tujuan Umum.
1.
Model Perjanjian
Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus
pertukaran barang dan jasa dan mobilitas sumber daya dan dana, sains dan
teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi
pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan hubungan
ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut
sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian keringanan
PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat mengupayakan
eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik
(misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling
kurang memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud
adalah (1) P3B dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik
(misalnya pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara
negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang
tersedia (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi
antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model
EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau
OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding
mendasarkan pada US Model.
Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan
harmonisasi hubungan perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi
dari negara-negara industri maju dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk
melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan dasar pijakan
alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota
domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang
dan berinvestasi pada setiap wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip
residensi akan dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model
OECD dikonsepkan dengan berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan
utama kebanyakan diberikan kepada negara domisili wajib pajak. Negara sumber
harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan pajak sumber (withholding tax at source) mereka
harus mengurangi tarif pajaknya untuk memberikan kepastian bahwa beban pajak
negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan kredit pajak negara residen
(kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya,
keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk
menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak
oleh negara sumber.
Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain
untuk P3B antara negara maju dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis
bahwa OECD Model, yang kebanyakan meminta negara sumber untuk merelakan
penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai panduan P3B antara
negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik hubungan ekonomi
negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh ketimpangan arus
penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara
berkembang lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut
menyebabkan pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian
penerimaan pajak dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan
pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang
tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik
lainnya. Selain menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi di negara
berkembang, keterbatasan dana juga menyebabkan tidak mampunya negara berkembang
yang umumnya sebgai negara pengutang untuk membayar utang luar negeri dan dalam
negerinya.
2.
Sifat P3B
Istilah treaty
dan convention sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan.
Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi
dapat dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah
.treaty.. Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan
tujuan kultural dan ekonomi serta dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk
mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian
bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional, P3B bersifat mengikat
kedua negara (contracting states).
Selanjutanya, menurut Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara
(Indonesia) juga mempunyai validitas internal domestik dan menjadi self executing. Sehubungan dengan
penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai kemungkinan yang dapat bersifat
restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum internasioanl, sesuai dengan
prinsip negatif efek, P3B membatasi aplikasi dari ketentuan domestik
(kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak
bisa diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat
(ada) dalam ketentuan domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam
ketentuan domestik (dengan ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban
pajak, Van Raad (1986) menyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat
dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-undang perpajakan)
dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada ketentuan
domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan
aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.
3.
Tujuan P3B
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar
mobilitas global sumberdaya, Pires (1989) menyebutkan beberapa tujuan lain dari
P3B, antara lain:
1) melindungi wajib pajak,
2) mendorong atau menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
3) memudahkan ekspansi perusahaan negara maju,
4) membantu mengurangi dan menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajak,
meningkatkan kerja sama aplikasi ketentuan domestik, perbaikan perutakaran
informasi dan pengalaman perpajakan, peningkatan pengetahuan tentang kemampuan
bayar wajib pajak, perbaikan interpretasi ketentuan pajak (misalnya sehubungan
dengan praktik transfer pricing),
5) harmonisasi kriteria pemajakan,
6) mencegah diskriminasi,
7) menumbuhsuburkan hubungan ekonomis
dan sebagainya, dan meningkatkan pencegahan penyalahgunaan perjanjian dan kerja
sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas administrasi pajak lainnya.
4.
Struktur P3B
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B
didasarkan kepada salah satu model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau
(3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD
(antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara
berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan
P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US
Model
Berikut adalah perbandingan struktur antara model OECD
dan Model UN :
MODEL UN
|
MODEL OECD
|
B AB I RUANG LINGKUP PERJANJIAN
|
|
Pasal 1 : orang dan badan yang
Tercakup dalam perjanjian
|
Pasal 1 : orang atau badan yang tercakup dalam perjanjian
|
Pasal 2: pajak-pajak yang tercakup dalam Persetujuan
|
Pasal 2 : pajak-pajak yang tercakup
|
BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN
|
|
Pasal 3 : definisi-definisi umum
|
Pasal 3 : pengertian umum
|
Pasal 4 : penduduk
|
Pasal 4 : penduduk
|
Pasal 5 : bentuk usaha tetap
|
Pasal 5 : but
|
BAB III PAJAK ATAS PENGHASILAN
|
|
Pasal 6 : penghasilan dari harta tak gerak
|
Pasal 6 : penghasilan dari harta tak gerak
|
Pasal 7 : laba usaha
|
Pasal 7 : laba usaha
|
Pasal 8 : perkapalan dan pengangkutan
udara
|
Pasal 8 : pelayaran, pengangkutan danau dan sungai, dan penerbangan jalur internasional
|
Pasal 9 : perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa
|
Pasal 9 : perusahan yang mempunyai hubungan istimewa
|
Pasal 10: dividen
|
Pasal 10: dividen
|
Pasal 11: bunga
|
Pasal 11: bunga
|
Pasal 12: royalti
|
Pasal 12: royalti
|
Pasal 13 : keuntungan dari pemindahtanganan harta
|
Pasal 13 : keuntungan karena pemindahtanganan harta
|
Pasal 14 : pekerjan bebas
|
Pasal 14 : pekerjaan bebas
|
Pasal 15 : pekerjaan dalam hubungan kerja
|
Pasal 15 : hubungan pekerjaan
|
Pasal 16 : imbalan direktur
|
Pasal 16 : pembayaran untuk direktur
|
Pasal 17 : para artis dan atlit
|
Pasal 17 : para artis dan olahragawan
|
Pasal 18 : pensiun
|
Pasal 18 : pensiun
|
Pasal 19 : pejabat pemerintah
|
Pasal 19 : jabatan pemerintahan
|
Pasal 20 : guru dan peneliti
|
Pasal 20 : mahasiswa dan
pelajar
|
Pasal 21 : siswa dan pemagang
|
Pasal 21 : penghasilan
lain-lain
|
BAB IV PAJAK ATAS KEKAYAAN
|
|
Pasal 22: penghasilan lainnya
|
Pasal 22 : kekayaan
|
BAB V METODA PENGHINDARAN
|
|
Pasal 23: metode penghindaran pajak
berganda
|
Pasal 23: metoda
pengkreditan
|
BAB VI KETENTUAN KHUSUS
|
|
Pasal 24: non diskriminasi
|
Pasal 24 non diskriminasi
|
Pasal 25 tata cara persetujuan bersama
|
Pasal 25 prosedur
kesepakatan bersama
|
Pasal 26 : pertukaran informasi
|
Pasal 26 : pertukaran informasi
|
Pasal 27 : pejabat diplomatik dan konsuler
|
Pasal 27 : para diplomat dan pejabat konsular
|
Pasal 28 : berlakunya persetujuan
|
Pasal 28 : perluasan wilayah berlakunya perjanjian
|
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
|
|
Pasal 29: berakhirnya persetujuan
|
Pasal 29 : berlakunya perjanjian
|
|
Pasal 30 : penghentian perjanjian
|
1.16 Aplikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dalam mendorong efisiensi ekonomi, pemajakan merupakan salah satu
pertimbangan yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diabaikan. Dalam sistem
pajak, netralitas dimasksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri
atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan
kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Netralitas pajak
menghendaki agar ketentuan perpajakan tidak memberikan perlakuan yang berbeda
atas satu kegiatan atau satu keputusan ekonomi dari kegiatan atau keputusan
ekonomi lainnya. P3B merupakan salah satu kebijakan dalam mewujudkan netralitas
pajak tersebut. Beberapa hal yang sering dialami dalam aplikasinya meliputi:
a. Kedudukan P3B
Untuk mengalokasikan hak pemajakan atas kategori
penghasilan tertentu kepada salah satu negara penandatangan, P3B mempunyai
ketentuan tersendiri tentang sumber penghasilan.
Dalam bahasa P3B istilah asal (originating, atau arising)
lebih sering dipakai ketimbang istilah sumber (source); Dapat terjadi bahwa kriteria penentu asal penghasilan
P3B tidak sama dengan kriteria penentu Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan
berdasarkan peraturan domestik. Dalam hal demikian, maka prioritas pemberlakuan
diberikan kepada ketentuan dalam P3B.
b. Penentuan penduduk (residensi)
Sebagaimana telah dikemukanpada bagian awal modul ini,
bahwa penentuan domisili suatu badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh
berdasarkan kriteria (1) tempat pendirian residence dengan memberikan ketentuan
(Pasal 4 ayat (3) model OECD) .Tiebreaker
Rule. , yaitu dengan merujuk apakah kepada (1) tempat pendirian, (2)
manajemen efektif, atau (3) kesepakatan bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan
solusi tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat residensi
ganda.
Sementara itu, untuk menentukan status penduduk wajib
pajak orang pribadi apabila terjadi dual
residences, ditetapkan berdasarkan:
a) Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
b) Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan
pokok)
c) Tempat kebiasaan berdiam
d) Kewarganegaraan;
e) Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
c.
Time Test untuk Penentuan BUT
Keberadaan BUT menentukan hak pemajakan bagi negara
sumber. Negara sumber mempunyai hak pemajakan penuh terhadap suatu atau
kegiatan yang memenuhi kriteria BUT.
Pasal 2 ayat (5) UU PPh menentukan kriteria BUT
meliputi keberadaan sarana fisik dan terpenuhinya batas waktu tertentu (time test) untuk suatu aktivitas atau
kegiatan. Dalam hal ini, aktivitas di bidang konstruksi (membangun jalan,
jembatan, bangunan dan sebagainya) kriterianya tidak menggunakan time test. Time test digunakan untuk
menentukan keberadaan BUT pemberian jasa saja, yaitu pemberian jasa yang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12 bulan. Namun, apabila antara Indonesia
dengan negara domisili WPLN sudah ada P3B, maka penentuan BUT dari aktivitas
pemberian jasa tersebut berdasarkan time-test
yang disepakati dalam P3B.
d. Surat Keterangan Domisili (SKD)
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak
dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, maka untuk
memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh 26 sesuai dengan P3B
dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996
sebagai berikut :
1) Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili
(SKD) kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan
menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat
pihak yang membayar penghasilan terdaftar;
2) Asli SKD menjadi dasar bagi pihak yang membayar untuk menerapkan PPh Pasal
26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan
negara tempat kedudukan (residence)
dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
3) Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu
pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi
yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan
terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi
fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.
Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya
yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili
yang dibuat oleh pejabat pada kantor pajak tempat wajib pajak luar negeri yang
bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan surat keterangan
domisili yang dibuat competent
authority.
e.
Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedures)
Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa
tindakan-tindakan salah satu atau kedua Negara Pihak pada Persetujuan
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
P3B, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh
perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan masalahnya
kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia berkedudukan,
atau apabila masalah yang timbul menyangkut perlakuan diskriminatif, maka permasalahan
tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan
di mana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua
tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan P3B.
Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan
untuk diselesaikan dan apabila atas masalah itu tidak dapat ditemukan suatu
penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang berwenang harus berusaha
menyelesaikan masalah itu melalui prsetujuan bersama dengan pejabat yang
berwenang dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk menghindarkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak
pada Persetujuan melalui suatu persetujuan bersama harus berusaha untuk
menyelesaikan setiap kesulitan atau keraguraguan yang timbul dalam penafsiran
atau penerapan P3B. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah
pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak
pada Persetujuan dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai
persetujuan tersebut. Pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara Pihak pada Persetujuan,
melalui konsultasi, mengembangkan tatacara, kondisi, dan tehnik yang bersifat
bilateral guna pencapaian prosedur persetujuan bersama.
f.
Pertukaran Informasi
Adakalanya untuk kelancaran pemajakan terhadap wajib
pajak luar negeri, khususnya untuk mencegah terjadinya penggelapan dan
penyelundupan pajak, diperlukan informasi dari negara pihak lainnya. Untuk
kelancaran pertukaran informasi (exchange
of information) diatur dalam P3B sebagai berikut:
1.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak
pada Persetujuan akan melakukan tukar menukar informasi yang diperlukan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan memberikan informasi itu hanya untuk maksud
tertentu tetapi juga boleh mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum
atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.
2.
Negara pihak tidak dapat mewajibkan negara pihak
lainnya untuk :
a)
Melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang
bertentangan dengan perundangundangan dan praktek administrasi yang berlaku di
Negara itu atau di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan;
b)
Memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan di
bawah perundang-undangan atau dalam praktek administrasi yang lazim di Negara
tersebut atau di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan;
c)
Memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia apapun
di bidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata
cara perdagangan atau informasi lainnya yang pengungkapannya bertentangan
dengan kebijaksanaan umum (ordre public).
Dalam P3B atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing
mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak
menurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan P3B.
Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan
harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu
diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional negara tersebut.
Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat diungkapkan
kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan
badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan
pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan
keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B.
CONTOH KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang
berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 25%
mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah dikenakan
pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000, berapakah
pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P)
|
200.000.000
|
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
100.000.000
|
Penghasilan global
|
300.000.000
|
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
|
75.000.000
|
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000
|
(25.000.000)
|
Pajak Penghasilan kurang bayar
|
50.000.000
|
Jika, misalnya, dari
operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka penghitungan
pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P)
|
200.000.000
|
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
(50.000.000)
|
Penghasilan global
|
150.000.000
|
Pajak Penghasilan kurang bayar:
25% x 150.000,000
|
37.500.000
|
Dengan demikian,
apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi dari
system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi
penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan
tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya
apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun
berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba
domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic (Negara P)
|
250.000.000
|
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
(150.000.000)
|
Penghasilan global
|
400.000.000
|
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)
|
100.000.000
|
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
|
|
Basis penghitungan eksemsi
|
100.000.000
|
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25%
|
(25.000.000)
|
Pajak Penghasilan kurang bayar
|
75.000.000
|