Pages

Pages

Senin, 02 November 2015

PERBANDINGAN ETIKA PROFESI AKUNTAN DAHULU SAMPAI SEKARANG

PERBANDINGAN ETIKA PROFESI AKUNTAN DAHULU SAMPAI SEKARANG

Perkembangan profesi dunia akuntansi semakin jelas sesuai dengan perjalanan zaman menurut keadaan atau situasi pada masa itu ,dengan etika profesi akuntansi yang dapat digolongkan menjadi  4 bagian dalam setiap kurun waktu. 
1. Pra Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi 
3. Masa revolusi Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan.
Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.
4. Tahun 1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
1. Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I [sebelum tahun 1954]
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b. Periode II [tahun 1954 – 1973]
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III [tahun 1973 – 1979]
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1) Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2) Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.
3) Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV [tahun 1979 – 1983]
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e. Periode V [tahun 1983 – 1989]
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986.
Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut. Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/
KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. 
Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
1) Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2) Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3) Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4) Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5) Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/
KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1) Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik/akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2) Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3) Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari. (M. Sutojo, 1989: 10)
f. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi.
Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1) Tumbuhnya pasar modal
2) Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3) Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4) Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1) Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2) Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3) Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4) Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1) Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2) Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3) Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
1. Peluang profesi akuntansi sangat besar. Akuntan dapat bekerja disemua sector perekonomian, apalagi bagi mereka yang menguasai IFRS dengan baik.
2. Terbukanya kesempatan bagi akuntan untuk berprofesi sebagai Akuntan Publik
3. Pertumbuhan Akuntan Publik relative lambat.
4. Struktur usia Akuntan Publik sekarang yang lebih dari 50 tahun sebanyak 64%, sehingga kemungkinan terjadi penurunan Akuntan Publik secara signifikan dalam 5 atau 10 tahun ke depan.
5. Kebutuhan jasa Akuntan Publik semakin meningkat
6. Penerapan IFRS (International Financial Reporting Strandard dan ISA (International Strandard on Auditing) di Indonesia pada tahun 2011-2012, merupakan peluang dan tantangan bagi profesi Akuntan dan Akuntan Publik.

TUGAS KELOMPOK 3 PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK 1

TUGAS KELOMPOK 3
EFINAWAWI ANASTASIA / 2B215088

PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK 1
  1. Menurut kalian bedakah etika profesi dengan etika kerja?? Mohon di berikan penjelasan beserta contohnya!
  2. Dalam salah satu paragraf anda menyebutkan bahwa etika memerlukan sikap kritis, metodis serta sistematis dalam melakukan refleksi. Apabisa dijelaskan lebih luas mengenai hal itu?
  3. Ada beberapa prinsip dalam etika profesi akuntansi, apakah profesi akuntan di Indonesia sudah memenuhi dari 8 prinsip tersebut?Bagaimana jika ada dari profesi akuntan yg melanggar salah satu prinsip etika?
  4. Apa arti dari teori etika deontologi? Dan seberapa besarkah pengaruh dari etika deontologi terhadap tanggung jawab akuntan dalam pengambilan keputusan?
  5. Kelemahan dan kelebihan apa saja yang di diperoleh dari tindakan egoisme?




Selasa, 13 Oktober 2015

TUGAS SOFTSKILL KELOMPOK III ETIKA PROFESI AKUNTAN

TUGAS KELOMPOK III 
SOFTSKILL ETIKA PROFESI AKUNTAN
ANGGOTA KELOMPOK :
EFINAWAWI ANASTASIA ( 2B215088)

A.    BUDAYA ETIKA (Corporate Culture)
Budaya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan etika merupakan sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Dalam perusahaan, hubungan antara pimpinan dengan instansi merupakan dasar budaya etika.
Corporate culture (budaya perusahaan) merupakan konsep yang berkembang dari ilmu manajemen serta psikologi industri dan organisasi, yang mana tujuan dari budaya perusahaan ini adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi (perusahaan).
Pemikiran tentang corporate culture ini berawal dari pengembangan ilmu yakni ilmu manajemen, organisasi dan psikologi industri. Dalam pelaksanaan organisasi perusahaan diperlukan adanya suatu hubungan yang baik antara semua bidang atau departemen.
Djokosantoso Moeljono mendefinisikan corporate culture sebagai suatu sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dijadikan acuan berperilaku dalam organsisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Menurut Martin Hann, ada sepuluh parameter budaya perusahaan yang baik antara lain:
1.       Pride of the organization
2.       Orientation towards (top) achievements
3.       Teamwork and communication
4.       Supervision and leadership
5.       Profit orientation and cost awareness
6.       Employee relationships
7.       Client and consumer relations
8.       Honesty and safety
9.       Education and development
10.   Innovation
Hubungan antara CEO dengan perusahaan merupakan dasar budaya etika. Jika perusahaan harus etis, maka manajemen puncak harus etis dalam semua tindakan dan kata-katanya. Manajemen puncak memimpin dengan memberi contoh. Perilaku ini adalah budaya etika.
Contohnya adalah hubungan manajemen puncak yang harus berbudaya/beretika/etis dalam perkataannya maupun tindakannya, sehingga ia dapat menjadi contoh bagi yang lainnya (khususnya bawahannya) dalam artian bahwa manajemen puncak dapat membuat seluruh organisasi dan karyawannya dapat menjalankan aktivitas sesuai konsep etika yang berbudaya dan etis. Maka dari itu, diperlukan beberapa langkah metode dalam mencapai hal tersebut, yakni:
a.      Corporate Credo adalah suatu pernyataan yang ringkas mengenai nilai-nilai yang ditegakkan perusahaan.
Komitmen Internal:
-       Perusahaan terhadap karyawan
-       Karyawan terhadap perusahaan
-       Karyawan terhadap karyawan lain
Komitmen Eksternal :
-       Perusahaan terhadap pelanggan
-       Perusahaan terhadap pemegang saham
-       Perusahaan terhadap masyarakat
b.      Program Etika adalah suatu gambaran sistem dari aktivitas yang dirancang untuk mengatur pegawai melaksanakan Corporate Credo.
c.       Kode Etik Perusahaan adalah suatu aturan yang mengandung nilai-nilai etis/ etika dalam menjalankan aktivitasnya. Contohnya IBM’s Business Conduct Guidelines (Panduan Perilaku Bisnis IBM).

B.    MENGEMBANGKAN STRUKTUR ETIKA KORPORASI
Dalam mengembangkan struktur etika korporasi perlunya prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri.
Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekedar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Mengembangkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya.
Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi.
Ada beberapa masalah etika yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan praktek-praktek organisasi/perusahaan di tempat kerja, meliputi:
a.      Rasa hormat, martabat, dan kebebasan perorangan
Masalah ini berhubungan erat dengan struktur dalam sebuah organisasi. Semakin seseorang memperoleh jabatan puncak, maka seseorang tersebut secara tidak langsung juga memperoleh martabat dan rasa hormat yang tinggi dari bawahannya. Namun begitu, bukan berarti seseorang dengan posisi puncak bisa bersikap semena-mena terhadap bawahannya. Seorang pegawai juga berhak menerima kebebasan dalam bertindak sesuai dengan hak dan kewajibannya.

b.      Kebijakan dan praktek personal
Masalah ini berkenaan dengan etika kepegawaian, pemberian gaji, kenaikan pangkat, pendisiplinan, pemberhentian dan masalah pensiun anggota organisasi. Praktek-praktek seperti pengujian pelamar, penaikan pangkat secara eksklusif dalam organisasi, bersikap berat sebelah kepada kerabat dan kawan dekat, pemberiaan hak prosedur proses, dan gaji yang sesuai menunjukan beberapa keputusan yang sulit, yang menyangkut beberapa masalah etika yang mendasar.

c.       Keleluasaan (privacy) dan pengaruh terhadap keputusan pribadi
Perjanjian implisit dan eksplisit antara pegawai dengan organisasi yang mempekerjakan mereka, memberi peluang kepada organisasi untuk mempengaruhi prestasi kerja pegawai. Namun, masalah etika muncul bila organisasi menaruh perhatian khusus pada masalah kehidupan pribadi anggotanya yang tidak secara langsung mempengaruhi prestasi kerja dalam organisasi, misalnya segala sesuatu yang terjadi selama masa cuti yang mempengaruhi citra organisasi, keikutsertaan dalam masalah-masalah publik seperti kegiatan masyarakat organisasi pelayanan, kontribusi pada badan-badan amal, dan keterlibatan dalam kelompok kegiatan politik.

d.      Pemantapan perilaku
Masalah yang termasuk dalam hal ini adalah sejauh mana organisasi memiliki hak untuk memaksa anggotanya agar membeberkan informasi mengenai diri mereka melalui peralatan terselubung, pemakaian fisiograf dan teskepribadian, serta tes pemakaian obat terlarang. Anggota organisasi harus memiliki informasi yang cukup mengenai apa yang sedang terjadi untuk dapat memberikan keputusan yang cerdas mengenai konsekuensinya dan prosedur yang terlibat. Anggota organisasi tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan pembeberan informasi, tetapi mereka harus diberi informasi sepenuhnya sehingga setuju memberikan informasi secara sukarela.

e.      Kualitas lingkungan kerja
Hal ini meliputi sejumlah besar kegiatan, termasuk masalah-masalah kesehatan dan keamanan, perawatan ibu hamil dan anak-anak, serta hubungan pegawai-manajer. Bahaya di tempat kerja yang mengakibatkan cacat sering ditemukan. Selain dari bahan-bahan toksis dan berbahaya sebagai sumber ancaman bagi kesehatan dan keamanan, stress di tempat kerja mungkin besar perananya terhadap penurunan kualitas kehidupan kerja anggota organisasi. Oleh sebab itu, seorang pimpinan atau manajer dituntut untuk menciptakan suatu iklim yang menghargai anggota organisasi dan mendukung produktivitas optimal. Gaya kepemimpinan yang menghindari percekcokan dan manuver politis mungkin merupakan gaya kepemimpinan yang paling etis.

C.     KODE  PERILAKU KORPORASI
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) merupakan pedoman yang dimiliki setiap perusahaan dalam memberikan batasan-batasan bagi setiap karyawannya untuk menetapkan etika dalam perusahaan tersebut.  Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya.
Di dalam Perilaku korporatif peran pemimpin sangat penting antara lain,
-           First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 
-          Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 
-          Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja dan
-          Pencetus dan Pengelola, strategi dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) juga dapat diartikan sebagai pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Corporate Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam Corporate Code of Conduct.
Dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance, diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu sebagai berikut:
·         Code of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
·         Code of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
·         Board Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas, Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
·         Sistim Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan Implementasinya.
·          An Auditing Committee Contractarranges the Organization and Management of the Auditing Committee along with  its Scope of Work.
·         Piagam Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta Ruang Lingkup Tugas.

D.    GOVERNANCE SYSTEM
Merupakan suatu sistem hukum dan suara pendekatan dimana suatu perusahaan diarahkan dan dikontrol berfokus pada struktur internal maupun eksternal suatu perusahaan dengan tujuan memantau tindakan manajemen dan direksi badan dan risiko sehingga mengurangi yang mungkin berasal dari perbuatan pejabat-pejabat perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan Governance System adalah suatu aturan, batasan dan sistem yang di rancang untuk melakukan pengarahan serta pengendalian secara internal dan eksternal guna mengantisipasi suatu perbuatan yang tidak diinginkan dan kecurangan yang dapat terjadi pada perusahaan.
Dalam pelaksanaannya terdapat empat unsur yang tak dapat dipisahkan dari Governance System, yakni:
a)      Commitment on Governance adalah sebuah komitmen di bidang perbankan yang dilandasi prinsip kehati-hatian berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan perusahaan.
b)      Governance Structure adalah struktur kekuasaan yang dijalankan dengan persyaratan sesuai peraturan perundangan yang berlaku yakni berupa persyaratan suatu transaksi yang diijinkan oleh pejabat yang ada di Bank.
c)      Governance Mechanism adalah suatu peraturan dalam menjalankan bisnis dan operasional perbankan, yakni pengaturan mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab unit dan pejabat Bank.
d)      Governance Outcomes adalah suatu hasil dari pelaksanaan baik dari cara-cara atau praktek-praktek maupun aspek hasil kinerja yang digunakan untuk mencapai hasil kinerja yang diinginkan (tersebut).




TUGAS SOFTSKILL KELOMPOK III ETIKA PROFESI AKUNTAN

TUGAS KELOMPOK III 
SOFTSKILL ETIKA PROFESI AKUNTAN
ANGGOTA KELOMPOK :
EFINAWAWI ANASTASIA ( 2B215088)

A.    BUDAYA ETIKA (Corporate Culture)
Budaya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan etika merupakan sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Dalam perusahaan, hubungan antara pimpinan dengan instansi merupakan dasar budaya etika.
Corporate culture (budaya perusahaan) merupakan konsep yang berkembang dari ilmu manajemen serta psikologi industri dan organisasi, yang mana tujuan dari budaya perusahaan ini adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi (perusahaan).
Pemikiran tentang corporate culture ini berawal dari pengembangan ilmu yakni ilmu manajemen, organisasi dan psikologi industri. Dalam pelaksanaan organisasi perusahaan diperlukan adanya suatu hubungan yang baik antara semua bidang atau departemen.
Djokosantoso Moeljono mendefinisikan corporate culture sebagai suatu sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dijadikan acuan berperilaku dalam organsisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Menurut Martin Hann, ada sepuluh parameter budaya perusahaan yang baik antara lain:
1.       Pride of the organization
2.       Orientation towards (top) achievements
3.       Teamwork and communication
4.       Supervision and leadership
5.       Profit orientation and cost awareness
6.       Employee relationships
7.       Client and consumer relations
8.       Honesty and safety
9.       Education and development
10.   Innovation
Hubungan antara CEO dengan perusahaan merupakan dasar budaya etika. Jika perusahaan harus etis, maka manajemen puncak harus etis dalam semua tindakan dan kata-katanya. Manajemen puncak memimpin dengan memberi contoh. Perilaku ini adalah budaya etika.
Contohnya adalah hubungan manajemen puncak yang harus berbudaya/beretika/etis dalam perkataannya maupun tindakannya, sehingga ia dapat menjadi contoh bagi yang lainnya (khususnya bawahannya) dalam artian bahwa manajemen puncak dapat membuat seluruh organisasi dan karyawannya dapat menjalankan aktivitas sesuai konsep etika yang berbudaya dan etis. Maka dari itu, diperlukan beberapa langkah metode dalam mencapai hal tersebut, yakni:
a.      Corporate Credo adalah suatu pernyataan yang ringkas mengenai nilai-nilai yang ditegakkan perusahaan.
Komitmen Internal:
-       Perusahaan terhadap karyawan
-       Karyawan terhadap perusahaan
-       Karyawan terhadap karyawan lain
Komitmen Eksternal :
-       Perusahaan terhadap pelanggan
-       Perusahaan terhadap pemegang saham
-       Perusahaan terhadap masyarakat
b.      Program Etika adalah suatu gambaran sistem dari aktivitas yang dirancang untuk mengatur pegawai melaksanakan Corporate Credo.
c.       Kode Etik Perusahaan adalah suatu aturan yang mengandung nilai-nilai etis/ etika dalam menjalankan aktivitasnya. Contohnya IBM’s Business Conduct Guidelines (Panduan Perilaku Bisnis IBM).

B.    MENGEMBANGKAN STRUKTUR ETIKA KORPORASI
Dalam mengembangkan struktur etika korporasi perlunya prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri.
Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekedar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Mengembangkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya.
Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi.
Ada beberapa masalah etika yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan praktek-praktek organisasi/perusahaan di tempat kerja, meliputi:
a.      Rasa hormat, martabat, dan kebebasan perorangan
Masalah ini berhubungan erat dengan struktur dalam sebuah organisasi. Semakin seseorang memperoleh jabatan puncak, maka seseorang tersebut secara tidak langsung juga memperoleh martabat dan rasa hormat yang tinggi dari bawahannya. Namun begitu, bukan berarti seseorang dengan posisi puncak bisa bersikap semena-mena terhadap bawahannya. Seorang pegawai juga berhak menerima kebebasan dalam bertindak sesuai dengan hak dan kewajibannya.

b.      Kebijakan dan praktek personal
Masalah ini berkenaan dengan etika kepegawaian, pemberian gaji, kenaikan pangkat, pendisiplinan, pemberhentian dan masalah pensiun anggota organisasi. Praktek-praktek seperti pengujian pelamar, penaikan pangkat secara eksklusif dalam organisasi, bersikap berat sebelah kepada kerabat dan kawan dekat, pemberiaan hak prosedur proses, dan gaji yang sesuai menunjukan beberapa keputusan yang sulit, yang menyangkut beberapa masalah etika yang mendasar.

c.       Keleluasaan (privacy) dan pengaruh terhadap keputusan pribadi
Perjanjian implisit dan eksplisit antara pegawai dengan organisasi yang mempekerjakan mereka, memberi peluang kepada organisasi untuk mempengaruhi prestasi kerja pegawai. Namun, masalah etika muncul bila organisasi menaruh perhatian khusus pada masalah kehidupan pribadi anggotanya yang tidak secara langsung mempengaruhi prestasi kerja dalam organisasi, misalnya segala sesuatu yang terjadi selama masa cuti yang mempengaruhi citra organisasi, keikutsertaan dalam masalah-masalah publik seperti kegiatan masyarakat organisasi pelayanan, kontribusi pada badan-badan amal, dan keterlibatan dalam kelompok kegiatan politik.

d.      Pemantapan perilaku
Masalah yang termasuk dalam hal ini adalah sejauh mana organisasi memiliki hak untuk memaksa anggotanya agar membeberkan informasi mengenai diri mereka melalui peralatan terselubung, pemakaian fisiograf dan teskepribadian, serta tes pemakaian obat terlarang. Anggota organisasi harus memiliki informasi yang cukup mengenai apa yang sedang terjadi untuk dapat memberikan keputusan yang cerdas mengenai konsekuensinya dan prosedur yang terlibat. Anggota organisasi tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan pembeberan informasi, tetapi mereka harus diberi informasi sepenuhnya sehingga setuju memberikan informasi secara sukarela.

e.      Kualitas lingkungan kerja
Hal ini meliputi sejumlah besar kegiatan, termasuk masalah-masalah kesehatan dan keamanan, perawatan ibu hamil dan anak-anak, serta hubungan pegawai-manajer. Bahaya di tempat kerja yang mengakibatkan cacat sering ditemukan. Selain dari bahan-bahan toksis dan berbahaya sebagai sumber ancaman bagi kesehatan dan keamanan, stress di tempat kerja mungkin besar perananya terhadap penurunan kualitas kehidupan kerja anggota organisasi. Oleh sebab itu, seorang pimpinan atau manajer dituntut untuk menciptakan suatu iklim yang menghargai anggota organisasi dan mendukung produktivitas optimal. Gaya kepemimpinan yang menghindari percekcokan dan manuver politis mungkin merupakan gaya kepemimpinan yang paling etis.

C.     KODE  PERILAKU KORPORASI
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) merupakan pedoman yang dimiliki setiap perusahaan dalam memberikan batasan-batasan bagi setiap karyawannya untuk menetapkan etika dalam perusahaan tersebut.  Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya.
Di dalam Perilaku korporatif peran pemimpin sangat penting antara lain,
-           First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 
-          Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 
-          Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja dan
-          Pencetus dan Pengelola, strategi dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) juga dapat diartikan sebagai pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Corporate Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam Corporate Code of Conduct.
Dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance, diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu sebagai berikut:
·         Code of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
·         Code of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
·         Board Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas, Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
·         Sistim Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan Implementasinya.
·          An Auditing Committee Contractarranges the Organization and Management of the Auditing Committee along with  its Scope of Work.
·         Piagam Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta Ruang Lingkup Tugas.

D.    GOVERNANCE SYSTEM
Merupakan suatu sistem hukum dan suara pendekatan dimana suatu perusahaan diarahkan dan dikontrol berfokus pada struktur internal maupun eksternal suatu perusahaan dengan tujuan memantau tindakan manajemen dan direksi badan dan risiko sehingga mengurangi yang mungkin berasal dari perbuatan pejabat-pejabat perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan Governance System adalah suatu aturan, batasan dan sistem yang di rancang untuk melakukan pengarahan serta pengendalian secara internal dan eksternal guna mengantisipasi suatu perbuatan yang tidak diinginkan dan kecurangan yang dapat terjadi pada perusahaan.
Dalam pelaksanaannya terdapat empat unsur yang tak dapat dipisahkan dari Governance System, yakni:
a)      Commitment on Governance adalah sebuah komitmen di bidang perbankan yang dilandasi prinsip kehati-hatian berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan perusahaan.
b)      Governance Structure adalah struktur kekuasaan yang dijalankan dengan persyaratan sesuai peraturan perundangan yang berlaku yakni berupa persyaratan suatu transaksi yang diijinkan oleh pejabat yang ada di Bank.
c)      Governance Mechanism adalah suatu peraturan dalam menjalankan bisnis dan operasional perbankan, yakni pengaturan mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab unit dan pejabat Bank.
d)      Governance Outcomes adalah suatu hasil dari pelaksanaan baik dari cara-cara atau praktek-praktek maupun aspek hasil kinerja yang digunakan untuk mencapai hasil kinerja yang diinginkan (tersebut).




Mengenai Saya

Pengikut